Beranda Pencerahan Ketika Kehormatan Bersumber Dari Atribut

Ketika Kehormatan Bersumber Dari Atribut

515
0

Kotamobaguonline.com  Sabtu, 12/09/2020 Redaksi – Ketika kehormatan bersumber dari atribut, maka distansi antara kemuliaaan dengan kehinaan, hanya terpisahkan oleh selapis tabir yang teramat tipis. Kehormatan diri, hanya berjarak selangkah dengan kenistaan.

Abi Ishak melepaskan rangkaian bersin yang keras itu dengan tubuh tergoncang. Lalu tanpa sadar kemudian, jubah jabatan baru yang melekat indah di tubuhnya dijadikan pengusap kotoran yang melekat di hidung dan mulutnya.

Sekejap ruang megah yang menjadi tempat acara pelantikan dua pejabat penting di Surraman Mediterian itu berubah sepi. Ratusan pasang mata memandang tegang kepada Abi Ishak yang tegak berdiri di samping Abu Bakar Dalap al-Sybli, pejabat lain yang dilantik bersamanya hari itu. Mereka menanti apa yang akan dilakukan Khalifah yang sedang menatap Abi Ishak dengan geram.

Mengapa jubah jabatan yang megah itu harus diperlakukan sehina tisu di tempat pembuangan? Bukankah seseorang yang sekerdil apapun, segera terangkat naik, saat menyandang seperangkat pakaian kebesaran? Kebodohan apa yang menggerakan seseorang untuk mendustakan pengaruh sepotong jubah yang sarat dengan kilau kemegahan? “Tanggalkan pakaian itu, dan keluarlah dari Istana ini,” perintah Sang Khalifah kemudian.

Peristiwa di Khurrasan Irak tahun 891 itu, menjadi titik awal dari perubahan drastis jalan hidup salah seorang pejabat tinggi pemerintah yang kemudian menjadi sufi besar dari Surraman. Dan tokoh itu bukan Abi Ishak Sang Pejabat yang dipecat, tetapi rekannya yang juga ikut naik pangkat, Abu Bakar Dalap Ibnu Hajar al-Sybli.

“Aku tak ingin memindahkan kehormatan diriku kepada hanya sepotong jubah jabatan,” kata Si Pendahaga Ilmu Tauhid ini, setelah mundur dari pemerintahan, dan mulai memasuki dunia tasawuf, dengan bergabung ke kelompok spiritual pimpinan Khair as-Nassaj di Bagdad.

PROCEDERE Processi Prosessum. Filsuf Augustinus menegaskan makna keharusan iman mendahului pemahaman. Fakta bahwa akal bersujud di kaki iman, yang menekankan kelebihrendahan rasio dibandingkan wahyu. “Credo ut intelligam,” kata lain Aselmus lewat diktum argumen ontologismenya yang terkenal. Saya percaya, agar saya bisa mengerti. Dalam perspektif pemikiran yang lebih utuh, Al Ghazali juga banyak mencontohkan kemahabenaran wahyu melewati variabel rasio secara saintifik dan empiristik.

“Tuhan mengukur kemuliaan dan kehormatan manusia dari ketakwaan kepada-Nya. Dan sifat takwa itu sendiri mencerminkan wujud kecemerlangan akal budi manusia, tidak hanya sebatas dalam makna hubungan secara vertikal dengan Sang Maha Segala, tetapi juga dalam konteks sesama insan dan seluruh alam semesta,” kata al-Sybli. Dia ingin menegaskan bahwa ketika Tuhan menyatakan keimanan kepada-Nya sebagai ukuran kesejatian harkat kehormatan dan kemuliaan seseorang, maka setiap manusia harus mempercayainya terlebih dahulu, sebelum kemudian memahaminya secara rasio maupun empirik. Lalu, bagaimana mungkin dia bisa menerima pemikiran bahwa kehormatan dan kemuliaan seseorang justru hanya bergantung kepada selembar jubah jabatan? Yang pada saat Sang Jubah kotor atau hilang, maka Si Empunya harus terpuruk dalam kehinaan? Bukankah itu menantang kehendak Tuhan?

Tapi sangat banyak mereka yang percaya, bahwa kehormatan seseorang memang lebih terletak di atribut yang menutup tubuhnya, ketimbang di dalam tubuh yang ditutup atribut kemegahannya. Karena itu, saat kehilangan jabatan, seseorang bisa langsung dipandang telah kehilangan kemilau kemuliaan dan harga dirinya.

Abu Bakar Dalap Ibnu Jahar al-Sybli ingin mengajarkan kepada Sang Khalifah, bahwa derajat seseorang tidak diukur dari apa yang disandangnya. Itu sekaligus juga peringatan agar jangan sampai membuat jabatan sebagai sumber yang akan mengotori diri sendiri. Sebab jabatan bukan Si Penjaga dan Si Pemelihara diri, tetapi justru sebaliknya.

Selain itu banyak pejabat tinggi yang menyatakan siap untuk hidup tanpa jabatan. Yakin tak akan tergoncang jika kelak kehilangan apa yang sekarang dia pegang. Namun ketika saat itu tiba, toh dia tetap kecewa, gamang dan merasa telah sangat ditinggalkan. “Mengapa?,” tanya suatu ketika Al-Harist al-Muhasibi kepada salah seorang muridnya. Sang Sufi menjawab sendiri pertanyaannya, “karena orang yang mudah kecewa, termasuk golongan fakir yang papa, meskipun punya banyak harta”.

Tapi intinya mungkin, karena Sang Pejabat telah berdusta, saat mengatakan bahwa kehormatan dan kemuliaan seseorang tidak terletak di jubah jabatan yang sedang dia kenakan. Dia sesungguhnya masih tetap percaya, bahwa nilai diri seseorang ditentukan oleh pangkat, harta dan kedudukan. Karena itu, agar diri bisa lebih tampil di permukaan, maka pemburuan terhadap harta dan jabatan, menjadi kisah yang seolah tak pernah berpenghabisan. Orang-orang yang seperti ini menurut Napoleon Bonaparte, tanpa sadar telah meletakan kemuliaan dirinya, hanya berjarak selangkah dengan kenistaannya. ( Sumber Pencerahan Islam )

 

Artikulli paraprakTatong Serahkan Bantuan Bibit Buah Kepada Organisasi Wanita Kotamobagu
Artikulli tjetërCara Berbakti Kepada Orang Tua dalam Islam dan Keutamaannya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.