Beranda Berita Utama BLH Bolmong Surati Bos Abdi Karya

BLH Bolmong Surati Bos Abdi Karya

300
0
DLH Bolmong Salurkan Tong Sampah di Sekolah
Ir Hi M Yudha Rantung, Keala DLH Kabupaten Bolmong.

Rantung: Diduga Pengrusakan LH di Kawasan Monsi dan Puncak Tonggara

BOLMONG – Menyusul adanya dugaan pengrusakan Lingkungan Hidup (LH) di hutan negara, tepatnya di kawasan Monsi Desa Mopait dan puncak Tonggara Desa Matali Baru, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), membuat pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH), melayangkan surat untuk dimintai keterangan kepada bos pemilik supermarket Abdi Karya Kotamobagu.

Demikian ditegaskan Kepala BLH Pemkab Bolmong, Ir Hi M Yudha Rantung, kepada sejumlah wartawan, diruang kerjanya, Selasa (04/10/2016), dimana pihaknya telah mengundang kepada, Ko’ Acen pemilik Abdi Karya, untuk dimintai klarafikasi seputar terjadinya pengrusakan lingkungan di kawasan hutan penyanggah di wilayah puncak Tonggara.

“Bukan hanya di kawasan puncak Tonggara, melainkan ada juga di kawasan Monsi, kedua lokasi tersebut berada diwilayah Kecamatan Lolayan,” kata Rantung.

Dikatakannya, menyangkut pengrusakan lingkungan, berarti melanggar aturan hukum berlaku, apabila pelaku perusak lingkungan tidak mentaati segala ketentuan hukum. “Tentunya ada hukum yang mengikat bagi pelanggar,” tegasnya.

Menurut Yudha Rantung, sebagaimana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini terdiri dari 17 BAB dan 127 Pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH).

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH) dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:

Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;

kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;

Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;

Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;

Pendayagunaan pendekatan ekosistem;

Kepastian dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;

Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;

Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif;

Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil lingkungan hidup.

Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang dimaksud Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam undang-undang tersebut meliputi:

Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana  Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)

Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alam yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam Undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.

Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), UKL-UPL (Upaya Kelola Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan), perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/ atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/ atau pelestarian fungsi atmosfer.

Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:

Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,

Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.

Selanjutnya, pengaturan tentang sanksi pidana tidak jauh berbeda bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup  dibandingkan dengan undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap tindak pidana  dibagi dalam dalam delik materil maupun delik materil.

Cuma dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pengaturan pasal lebih banyak pasal sanksi pidananya bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang menguraikan masalah sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan (Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan Pasal 115).  Jika diamati dan dibadingkan pengaturan Pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana.  Atau dengan kata lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam beberapa pasal.

Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil.

Perlu digaris bawahi, delik materil  dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut:

Dellik materil  (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau  perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.

Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.

Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu:

Pasal  105

Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara kesatua republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana dengan penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan  denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000.

Pasal 106

Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan  denda paling sedikit  Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.

Pasal 107

Setiap orag yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan  denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.

Pasal 108

Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga belas tahun dan  denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp. 10.000.000.000.

Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang harus didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu itu bertindak dan patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan  juga dapat dilihat dalam beberapa pasal seperti:

Pasal 98

Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun  dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling banyak Rp.10.000.000.000.

Pasal 102

Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 3.000.000.000

Hal yang membedakan dengan UUPLH dan UUPPLH adalah pada sanksi pidana dendanya yang bukan lagi dalam hitungan jutaan rupiah tetapi dinaikkan menjadi standar miliaran rupiah.

“Jadi dalam undang-undang yang baru tersebut, juga diatur masalah pertanggujawaban pidana bagi korporasi, yang selanjutnya dapat dikenakan kepada yang memerintah sehingga terwujud tindak pidana pencemaran lingkungan, tanpa memerhatikan terjadinya tindak pidana itu secara bersama-sama (vide: Pasal 116 ayat 2),” terangnya.

Sekedar diketahui, terkait adanya indikasi pengrusakan hutan penyanggah di kawasan Puncak Tonggara, pihak Polres Bolmong, sedang melakukan penyelidikan sekaligus memanggil pihak-pihak terkait untuk diminta keterangan, termasuk Ko’Achen pemilik supermarket Abdi Karya Kotamobagu.

(jumrin potabuga)  

Artikulli paraprakWatung Serahkan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya 2016
Artikulli tjetërTahapan Perbaikan Dokumen Paslon Kada Bolmong Tuntas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.